Inderanews, Jakarta,- Juga bisa mematikan, tak kalah berbahayanya dengan virus Corona, adalah virus intoleransi.
Sikap intoleran (intoleransi) inilah cikal-bakal radikalisme, yang kemudian bisa memuncak ke terorisme.
Pengertian radikalisme yang dimaksud adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Sedangkan terorisme sudah jelas ya, mereka yang pahamnya siap untuk … dar-der-dor!
Nyawa manusia harganya murah di mata dan hati mereka.
Dan ditengarai memang virus intoleransi ini sudah merambah ke segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia.
Pembiaran yang dilakukan rezim yang dulu telah berbuah pahit sekarang. Karenanya harus menciptakan hak cipta oleh administrasi Presiden Jokowi.
Mulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS). Telah terbit Surat Edaran Bersama Menteri PANRB dan Kepala BKN Nomor 2 Tahun 2001 Nomor 2 / SE / I / 2021 yang diterbitkan pada hari Senin 25 Januari 2021.
Ada instruksi dalam surat tersebut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Tjahjo Kumolo, melarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) berhubungan maupun mendukung seluruh organisasi yang dilarang pemerintah.
Dijelaskan di situ, sejumlah organisasi yang dilarang oleh pemerintah seperti: Partai Komunis Indonesia (PKI), Jamaah Islamiyah. Juga Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Front Pembela Islam (FPI).
Yang melanggar tentu bakal kena sangsi, begitu konsekuensinya.
Sebelumnya juga sudah ditegaskan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, yang bilang bahwa ASN yang terpapar paham intoleransi dan radikalisme untuk dipecat lebih cepat.
Menurut Gubernur Ganjar Pranowo, mesti dipecat, lantaran mereka yang sudah terpapar paham itu, bakal terus melakukan perlawanan.
Perlawanan atau retaliasi melalui ideologi serta terus membangun wacana melalui media sosial. Tujuannya ya memecah-belah. Kalau sudah berantakan bakalan sulit untuk kembali ke pangkuan NKRI.
Ini jadi seperti virus pembunuh yang menyebar merambat dan tentu amat berbahaya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka kita menyambut baik terbitnya Surat Edaran Bersama Menteri PANRB dan Kepala BKN Nomor 2 Tahun 2001 No. 2/SE/I/2021 ini.
Lalu apakah terbitnya Surat Edaran itu, yang melarang PNS berhubungan dengan ormas terlarang, adalah juga sebentuk intoleransi?
Ada paradoks dalam toleransi. Seperti yang pernah disampaikan seorang filsuf besar, Karl R. Popper (The Open Society and Its Enemies, 1945):
“We should claim that any movement preaching intolerance places itself outside the law and we should consider incitement to intolerance and persecution as criminal, in the same way as we should consider incitement to murder, or to kidnapping, or to the revival of the slave trade, as criminal.”
Maka,
“We should therefore claim, in the name of tolerance, the right not to tolerate the intolerant.”
Kita tidak bisa mentolerir mereka yang intoleran. Tentu setelah suatu wacana argumentasi yang sahih (logis) dilewati.
Tinggallah sekarang penegakan aturan itu, dengan pengawasan yang ketat serta adil dalam penerapannya.
“Bersatu kita teguh, tercerai berai kita runtuh.” — slogan perjuangan RI.
Sumber
Andre Vincent Wenas, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).