INDERANEWS, NASIONAL, – Pada 2017 Rizieq Shihab meninggalkan Indonesia gara-gara masalah hukum dan belum kembali hingga sekarang. Kini Front Pembela Islam (FPI) yang didirikannya mulai terancam eksistensinya.
Pemerintah mensyaratkan satu hal di luar aturan tentang organisasi kemasyarakatan terhadap FPI. Organisasi itu harus menandatangani surat pernyataan dan mengaku setia kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar bisa tetap aktivitas di Indonesia.
Musabab keluarnya syarat itu adalah Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) FPI yang menuliskan visi dan misi “penerapan Syariat Islam secara kaffah di bawah naungan Khilafaah Islaamiyyah.” Ini membuat Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian khawatir dengan tindakan FPI di masa depan bila Surat Keterangan Terdaftar (SKT) diterbitkan.
“Kata-kata mengenai penerapan Islam secara kaffah ini teori teologinya bagus, tapi kemarin sempat muncul istilah dari FPI mengatakan NKRI bersyariah. Apa ini maksudnya akan diberlakukan prinsip syariah yang ada di Aceh?” kata Tito di Gedung DPR/MPR, Kamis (28/11/2019).
Istilah NKRI bersyariah juga sempat dikeluarkan Rizieq pada September 2018. Saat mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019, akun twitter @RizieqSyihabFPI mengunggah poster bertuliskan “Mau NKRI Bersyariah? Mau Indonesia Berkah? Mau Negara & Bangsa selamat?” bersanding dengan gambar Prabowo-Sandi.
Tito khawatir jika konsep yang diterapkan FPI akan seperti di Aceh yang merupakan daerah khusus. Kelompok minoritas di Indonesia bisa jadi tidak terima dan terusik. Kata-kata khilafah juga menjadi masalah karena berpeluang membangun sistem negara dan melakukan penegakan hukum sendiri. Apalagi ada frasa “penegakan hisbah”.
“Penegakan hisbah, nah ini yang kendalanya amar ma’ruf nahi munkar ini kadang-kadang dilakukan di lapangan dengan cara melakukan penegakan hukum sendiri,” ujar Tito lagi.
Apa yang dilakukan pemerintah dengan mengkaji SKT FPI sebenarnya tidak biasa jika dibandingkan dengan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan pada 2017. FPI berbeda dengan HTI, salah satunya adalah tidak adanya ideologi Pancasila dalam AD/ART FPI. Toh, FPI masih bisa terselamatkan dengan membuat surat di atas meterai bersumpah setia kepada Pancasila dan NKRI.
Sedangkan HTI yang mengakui Pancasila dalam AD/ART-nya tidak mendapat kesempatan sama. Pemerintah menilai pada praktiknya HTI melanggar AD/ART dan memang berniat mendirikan khilafah.
Tuduhan pelanggaran AD/ART ini juga terjadi pada FPI. Bedanya, beberapa kelompok masyarakat khawatir FPI akan bertentangan dengan surat kesetiaan yang telah mereka tanda tangani. Bisa jadi surat itu hanya kecohan agar FPI mendapatkan SKT.
“Dalam organisasi, komitmen tersebut tak cukup hanya dipegang oleh individu pimpinan organisasi dengan menuangkannya di atas kertas. Namun harus terkonfirmasi dari ujaran, sikap dan perbuatan,” tutur Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU Robikin Emhas, Sabtu (30/11/2019) dalam pernyataan tertulis.
Omongan Tito yang menyatakan “kadang-kadang” FPI main hukum sendiri bisa jadi sekadar eufemisme. Karena bukan “kadang-kadang”, tapi “setiap tahun” FPI main hukum sendiri dengan berbagai dalih. (Red)
Penulis: Felix Nathaniel