Inderanews, Pangkalpinang,- Baru saja Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memperingati hari jadinya yang ke-20 pada tanggal 21/11/2020. Provinsi muda dengan penduduk 1,4 juta jiwa yang terdiri dari berbagai suku di Indonesia (Melayu, Bugis, Banjar, Cina, Jawa, Sunda, Batak, dsb) terus berlari dan melompat, melesat membangun daerahnya. Dengan sumber daya alam tambang, perikanan, kelautan, perkebunan dan pariwisata serta didukung oleh sumber daya manusia putra asli daerah yang mumpuni, Provinsi Bangka Belitung diprediksi akan menjadi provinsi muda yang terdepan.
Namun di balik itu ada ancaman serius dan bahaya laten bagi pembangunan dan kemajuan provinsi, yakni radikalisme dan terorisme. Radikalisme dan terorisme ibarat air dan ikan. Di dalam kelompok, komunitas dan masyarakat yang radikal, tumbuh subur terorisme dan jaringannya. Kelompok radikalisme mensyaratkan sikap intoleransi dari pengikutnya. Hal ini menjadi ancaman kemajemukan masyarakat Bumi Serumpun Sebalai.
Bibit-bibit radikalisme ada di pulau Timah sebelum provinsi terbentuk. Radikalisme mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesca pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Saat suasana eforia reformasi, otonomi daerah dan pembentukan provinsi baru, di saat semua orang bebas berpendapat, setiap aliran, kelompok dan organisasi dibiarkan menyebarkan paham dan ideologi, kelompok radikal mengambil kesempataan emas ini.
Sejak tahun 2002 kelompok radikal secara struktural, sistematis, massif dan intensif melalukan radikalisasi bagi masyarakat Bumi Serumpun Sebalai dengan menggunakan media sosial, menyelenggarakan diskusi publik/seminar, mimbar-mimbar khutbah jum’at, buletin jum’at, pengajian-pengajian umum, dan acara di radio/televisi lokal, serta aksi-aksi unjuk rasa menentang pemerintah kebijakan pemerintah. Radikalisasi yang berlangsung bertahun-tahun ini terkesan dibiarkan oleh pejabat pemerintahan daerah.
Pertumbuhan dan perkembangan radikalisme di Babel beriringan dengan pertumbuhan dan perkembangan provinsi dan kabupaten-kabupaten baru, sehingga radikalisme masuk ke dalam sendi-sendi birokrasi. Gejala-gejala radikalisasi birokrasi di Bangka Belitung terasa dari beberapa kali pemerintah daerah mengundang Ustadz-ustadz radikal mengisi acara-acara resmi. Dan terlihat mengabaikan ulama dan ustadz yang ada di Provinsi sendiri, yang dikenal moderat.
Puncaknya ketika terjadi insiden Surat Edaran dari Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kep. Bangka Belitung perihal Membaca Buku Muhammad al-Fatih pada tanggal 30/09/2020 yang lalu. Mungkin Pak Kepala Dinas hilaf dan lupa, kalau pahlawan Islam yang berjuang melawan penjajah di Bangka Belitung adalah Depati Amir, Depati Bahrin, Depati Hamzah, Hamidah. Batin Tikal, Depati Rahad Belitong, Hananjoeddin Belitong, Moch Roeslly Effendy. Bukan Muhammad al-fatih. Bukan jugaa Felix Siauw. Bukan pula FPI dan HTI.
Pak Kepala Dinas tidak tahu Felix Siauw adalah seorang propagandis HTI, yang mengerahkan segala upayanya guna berdirinya negara Khilafah Tahririyah (Khilafah versi HTI). Entah siapa yang memberi saran kepada Pak Kepala Dinas sehingga muncul ide membaca buku Felix. Surat Edaran tersebut memang dibatalkan keesokan harinya setelah mendapat protes dari masyarakat, akan tetapi kejadian tersebut mengkonfirmasi bahwa ada radikalisasi di birokrasi Bangka Belitung.
Menurut indeks yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT, 2020), dari 32 provinsi, Provinsi Timah menduduki urutan ke-13, mengalahkan Sulawesi Tengah (urutan 15) dan Jawa Barat (urutan 19). Padahal di Sulawesi Tengah tepatnya di Poso bercokol kekompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang berafilsasi kepada ISIS. Sampai sekarang mereka menebar teror di tengah masyarakat. Sedangkan Jawa Barat, sudah mafhum menjadi ibu kandung tempat lahirnya kelompok-kelompok radikal dan teror di Indonesia.
Istilah radikalisme air bagi ikan terorisme. Dimana ada kelompok, komunitas dan masyarakat radikal, di situ tumbuh subur terorisme dan jaringannya. Harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintahan daerah Bangka Belitung. Secara geografis, kepulauan Bangka Belitung sangat ideal menjadi tempat persembunyian dan persemaian teroris dan jaringan teror. Jangan biarkan keindahan alam dan keindahan toleransi di Bumi Serumpun Sebalai rusak gara-gara radikalisme dan terorisme.(Red)
Sumber : Ayik Heriansyah
Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI