INDERANEWS, BANGKA, Berbicara mengenai negara Indonesia tentulah luas dalam cakupan bahasan yang hendak di kupas, dengan segenap kondisi sosial, ekonomi dan politik tentu diharapkan mampu menangkap hal-hal yang dirasa banyak meresahkan kondisi yang ada di kalangan masyarakat.
Hal tersebut tentu tidaklah lepas dari proses kepemimpinan yang disajikan dalam perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Dengan demikian, hal yang mengakar ini harus di pahami terlebih dahulu sebelum merambah ke hal lain.
Proses kepemimpinan dalam tatanan birokrasi yang lazim terjadi disuatu negara demokrasi yaitu dengan proses pemilihan umum. Indonesia pun demikian dalam melaksanakan amanah undang-undang dalam proses demokrasi pemilihan pemimpin dan wakil rakyat dilakukan proses pemilihan umum.
Pemilihan umum yang pertama dilaksanakan Indonesia yaitu pada tahun 1955 pemilihan umum tersebut dilaksanakan pada masa kabinet Burhanuddin Harahap.
Dalam buku A History of Modern Indonesia since 1200 (2008) karya MC Ricklefs, berdasarkan UU No 7 Tahun 1953 pemilu tersebut dilaksanakan dalam rangka memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan Konstituante.
Konstituante adalah lembaga yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi negara.
Sistem yang digunakan pada Pemilu 1955 adalah perwakilan proporsional. Artinya setiap daerah pemilih akan mendapatkan jumlah kursi atas dasar jumlah penduduknya.
Hal tersebut dengan ketentuan setiap daerah berhak mendapatkan jatah minimun enam kursi untuk Konstituante dan tiga kursi untuk parlemen.
Pada Pemilu 1955 terdapat 260 jumlah kursi DOR yang diperebutkan dan 520 kursi untuk Konstituante. Ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Berdasarkan sistem perwakilan proporsional, wilayah Indonesia dibagi dalam 16 daerah pemilihan.
Namun dalam pelaksanaannya hanya 15 karena Irian Barat gagal melaksanakan Pemilu karena daerah tersebut masih dikuasai oleh Belanda.
Konsolidasi demokrasi (prosedural dan substantif) kurang lebih dilaksanakan pada masa rezim otoritarian Soeharto jatuh di tahun 1998.
Selanjutnya, menarik untuk kita bahas terkait dengan reformasi politik untuk konsolidasi-penguatan demokrasi:
Yang pertama adalah amandemen konstitusi, yang ke duapenguatan institusi demokrasi baik dari tingkat penyelenggara, pengawas dan lainnya yang sejatinya berkecimpung di dalamnya, yang ke tiga penyelenggaraan pemilu yang LUBER, perbaikan tata kelola birokrasi pemerintahan dan lainnya.
Memasuki 15 tahun awal pada proses demokrasi Indonesia terjadi pandangan positif, menjanjikan, sudah bisa dikatakan dapat terkonsolidasi.
Lalu pertanyaannya besar, bagaimana demokrasi Indonesia saat ini?
Pada tahun 2012 hingga tahun 2018 lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) Melakukan survei terhadap hal ini.
Yang hasilnya adalah legitimasi publik kuat, yaitu dukungan dan kepuasan publik terhadap demokrasi kuat dan cukup tinggi di atas 70%.
Berbasis data series indikator politik Indonesia siklus dinamis sejak tahun 2004 hingga sekarang dan kepuasan terendah (49,5%) pada Maret 2020.
Demokrasi yang terjadi di Indonesia selama 10 tahun terakhir mengalami stagnasi, regresi, kemunduran dll.
Lalu kita berbicara siapa yang bertanggung jawab untuk hal ini?
Yang pertama ada penentu pejabat publik
Dan yang kedua pembentuk undang-undang kebijakan.
Kedua unsur diatas tentulah sebagian besar lahir dari partai politik. Artinya dapat di ketahui secara sah bahwa partai politik sebagai salah satu instrumen penting dalam keberhasilan demokrasi dan tatanan birokrasi yang ada di Indonesia.
Mengapa partai politik?
Karena dari kedua unsur di atas mengarah lah pada partai politik sebagai instrumen nya.
Lalu sejauh mana sih edukasi politik yang diberikan kepada masyarakat dari partai politik sebagai tanggung jawabnya kepada masyarakat?
Sejauh ini belum terdapat angka yang segnifikan akan edukasi politik yang diberikan oleh partai politik itu sendiri terhadap masyarakat, terlebih tanggung jawab partai politik terhadap kadernya yang terlibat pada kasus-kasus misalnya korupsi saja belum terlalu terlihat peranan partai politik dalam hal tersebut.
Dalam hal ini mungkin ada beberapa hal yang harus di garis bawahi terlebih dahulu, katakanlah yang pertama ada personalisasi partai politik, yang kemudian jika dibungkus dan di teruskan akan menjadi dinasti politik.
Selanjutnya faktor pembentukan undang-undang, yang di dalamnya akan memuat berbagai kepentingan dari berbagai kalangan, dan ini di ilhami dalam kebijakan internal partai. Lalu selanjutnya pada pilihan menguatnya oligarki yang akan berujung pada degradasi demokrasi.
Sumber : ADHY YOS PERDANA