INDERANEWS PANGKALPINANG, Pandemi Covid – 19 yang terjadi di dunia khususnya di Indonesia telah menimbulkan siklus perkembangan kehidupan yang baru hal ini, sangat berdampak dengan psikologi masyarakat secara global khususnya di Prov. Kep. Bangka Belitung. Dikutip dari media RAKYATPOS.COM, PANGKALPINANG, Senin (8/6/2020) – Kerja sama adalah kata kunci dalam penanganan Covid-19, tidak hanya secara medis melainkan juga dukungan sosial yang harus saling dikuatkan dalam menangani pandemi ini.
Psikolog, Primalita Putri Distina, M.Psi menjelaskan dalam sepekan terakhir jumlah masyarakat terpapar Covid-19 terus bertambah, hal ini juga dibarengi dengan meningkatnya stigma negatif masyarakat terhadap pasien terpapar Covid-19 yang menjadi ancaman dan keresahan pasien maupun keluarga.
“Stigma negatif yang muncul berupa ejekan kepada pasien dan keluarga atau orang yang berkaitan dengan pasien Covid-19. Selain itu, ada pula pengucilan yang diterima oleh pasien dan keluarganya. Ini yang harus kita sikapi bersama di tengah pandemi ini,” kata Primalita, Senin (8/6/2020).
Dosen IAIN SAS Bangka Belitung (Babel) ini menguraikan, munculnya stigma negatif bagi pasien dan keluarga yang terpapar Covid-19 lantaran masih minimnya edukasi tentang Covid-19 secara menyeluruh.
Menurutnya, Covid-19 sebagai penyakit baru dengan tingkat penyebaran yang cepat, ditambah belum ditemukannya vaksin, membuat masyarakat menjadi cemas hingga ketakutan.
“Rasa cemas dan takut yang tidak dikelola dengan baik salah satunya bisa membuat kita mudah untuk melampiaskan rasa gelisah tersebut kepada orang lain, terutama pasien Covid-19 yang dianggap sebagai ancaman. Padahal, jika masyarakat diedukasi dengan baik, hal ini bisa diatasi,” ujarnya.
Lebih jauh, dia menjelaskan stigma negatif yang diberikan masyarakat kepada pasien dan keluarrga akan berdampak pada kesehatan mental atau kondisi psikologis mereka. Terutama pada pasien Covid-19, kondisi psikologis akan memengaruhi imunitas pasien dalam proses perawatan dan penyembuhan.
“Bayangkan saja, kalau pasien berada dalam tekanan psikologis seperti stress karena menerima ejekan atau pengucilan dari masyrakat, tentunya kondisi mentalnya melemah, begitupula dengan imunitasnya. Untuk keluarganya juga, padahal misalnya keluarganya negatif Covid-19 tapi masih saja mendapat stigma negatif. Padahal, keluarga pasien dapat menjadi salah satu suporter utama pasien untuk berjuang sembuh,” jelasnya.
Masyarakat seharusnya bisa memposisikan diri untuk untuk menghilangkan stigma negatif bagi pasien maupun keluarga. Hal yang perlu disadari bersama ialah anjuran pemerintah ialah untuk physical distancing yang berati menjaga jarak fisik bukan menjaga jarak sosial.
Menurutnya, hubungan sosial harus tetap dilakukan dengan berbagai medium, dukungan moral tetap bisa disampaikan, dan yang paling penting bagaimana kita bisa menahan diri tidak memberikan stigma negatif bagi pasien, keluarga dan lingkungannya.
“Kita masih boleh kok bersosialisasi, termasuk dengan pasien dan keluarganya. Mari kita lebih berempati, kita ikut merasakan bahwa kondisi pasien dan keluargannya sangat butuh support dari orang-orang di sekitar,” tambahnya.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk memberikan dukungan, misalnya mengirimkan kalimat penyemangat, menyebarkan informasi positif seperti banyaknya pasien yang bisa sembuh. Bijak menggunakan media sosial maupun medium percakapan personal dengan menyebarkan kalimat penyemangat.
“Positif Covid-19 bukanlah sebuah kenistaan, mereka yang menyebarkan bukan pula pembawa virus, tapi cobalah kita untuk lebih berempati, saling memberikan dukungan karena siapa saja bisa terpapar. Imbauan pemerintah itu physical distancing bukan menjaga jarak sosial. Mari kita sikapi pandemi ini dengan saling memberikan dukungan tanpa mengucilkan,” tutupnya.(Satrio)